PENGEMBANGAN KREATIVITAS DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: H. M. Syakur Sf.
(Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang)
A. PENDAHULUAN
Ada problem akademik yang masih terpampang di depan mata hingga kini, bahwa dalam masyarakat masih ada anggapan bahwa “anak yang baik adalah anak yang patuh, pandai menyesuaikan diri, dan memiliki disiplin yang kuat”.
Begitu pula dalam pendidikan, proses pendidikan bukan merupakan suasana yang mendorong peserta didik pada penemuan jati diri dan kreativitas, melainkan justeru membawa mereka ke arah wawasan yang dekat dengan “proses penjinakan” dan “domestikasi”.
Lebih parah lagi, aktivitas pendidikan dilakukan menuju penyesuaian dengan pemi-kiran tertentu, terutama menuju “jalan pikiran” pendidiknya. Kenyataan tersebut telah melanda di hampir semua lembaga pendidikan, termasuk dalam pendidikan Islam.
Kasus di beberapa madrasah menunjukkan bahwa proses belajar-mengajar (PBM) masih berlangsung dengan pola lama, yakni berproses seperti sedang mengisi gelas kosong, di mana semua kegiatan berpusat pada guru (teacher centred), dominasi ada pada guru. Unsur-unsur kecerdasan emosional, keterampilan emosional, kreativitas, problem solving, dan semacamnya masih dipandang sebagai “barang mewah” yang terlupakan, sehingga penggalian dan penumbuhan kreativitas siswa masih belum mendapat perhatian yang cukup. Akibatnya adalah lembaga pendidikan sekarang --khususnya pendidikan Islam-- tidak mampu melahirkan pemikir-pemikir besar seperti pada masa lampau.
Berkenaan dengan hal tersebut beberapa intelektual muslim dunia yang cukup produktif-kontributif di era kontemporer telah tampil menyumbangkan pemikirannya. Di antara mereka adalah pemikir pendidikan dari Indonesia, seperti Prof. Dr. Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (keturunan Arab-Sunda)
dan Prof. Dr. Hasan Langgulung yang kini mereka telah menjadi warga negara Malaysia. Tulisan ini akan mengetengahkan pemikiran Hasan Langgulung tentang kreativitas dan upaya pengembangannya dalam pendidikan.
B. PROFIL HASAN LANGGULUNG
1. Riwayat Hidup dan Pendidikannya
Nama lengkapnya adalah Prof. Hasan Langgulung, M.A., Ph.D. Nama keluarga dan kedua orangtuanya tidak ditemukan oleh penulis.
Ia dilahirkan di Rappang Ujung Pandang Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Oktober 1934. Beliau berasal dari suku Bugis. Sekolah Dasar dan Menengah Islam (1943–1949), Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Islam (1949–1952), Sekolah Guru Islam Atas (1952–1955) dijalani di Ujung Pandang. Setamat pendidikan B-1 bidang bahasa Inggris (1957–1962) Hasan melanjutkan pendidikan B-A dalam bidang Islamic Studies di Fakultas Dar al-’Ulum Cairo University (1962). Hasan meraih Ijazah Diploma dalam bidang Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab Studies, Arab League Cairo (1964), ijazah Special Diploma of Education (Mental Hygiene) dari Ein Shams University Cairo (1963–1964), dan memperoleh gelar master (M.A.) dalam bidang Psikologi dan Kesehatan Mental (Psychology Mental Hygiene) dari lembaga yang sama (1967) dengan judul tesis al-M>>>uh{arr}ik al-Indonesi: Ittijá>hatuh wa Darajat Tawá>fuq Indah. Gelar Ph.D. dalam bidang psikologi diraih dari University of Georgia Amerika Serikat (1971) dengan judul disertasi
A Cross-Cultural Study of Child Conception of Situational Causality in India, Western Samoa, Mexico and the United States di bawah bimbingan Prof. E. Paul Torrence.
2. Karya-Karyanya
Hasan Langgulung termasuk pemikir yang produktif dan sangat memperhatikan bidang yang digelutinya, yakni psikologi, filsafat, dan pendidikan Islam. Ia berhasil menulis 14 judul buku dalam bidang psikologi, pendidikan, falsafah, dan Islam yang telah diterbitkan. Ia juga menulis lebih dari 60 judul artikel yang termuat di berbagai majalah Luar Negeri dan Dalam Negeri, seperti Journal of Special Psychology, Journal of Cross-Cultural Psychology, Islamic Quarterly Muslim, Education Quarter-ly, Dewan Masyarakat, Dian, dan lain-lain. Hasan juga telah menerbitkan beberapa buku berbahasa Arab.
Di antara karya-karyanya terpenting dalam bidang psikologi dan pendidikan adalah:
a. Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisis Psiko-Sosiologi.
b. Manusia dan Pendidikn: Suatu Analisis Psikologi, Falsafah, dan Pendidikan.
c. Teori-Teori Kesehatan Mental.
d. Kreativitas dan Pendidikan Islam: Suatu Kajian Psikologi dan Falsafah.
- Asas-Asas Pendidikan Islam.
3. Karirnya
Sebagai seorang akademisi, Hasan mempunyai banyak karier dalam kehidupannya. Hasan memulai kariernya dengan menduduki jabatan Kepala Sekolah Indonesia di Kairo (1957-l968). Beliau pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Pendidik-an Islam di International Islamic University of Malaysia (IIUM). Kini Hasan menjabat sebagai Guru Besar dalam bidang Psikologi dan Pendidikan di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan Guru Besar bidang Sosiologi Pedesaan di Fakultas Ekonomi Universitas Malaysia (UM) dengan jabatan Psychological Consultant di Stand-ford Research Institute Menlo Park California; sebagai Teaching Assistant di University of Georgia (l969-1970); dan Visiting Professor di University of Riyadh (l977-l978).
Hasan juga mempunyai beberapa kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kariernya, seperti:
a. Pemimpin Redaksi Journal Pendidikan, diterbitkan di University Kebangsaan Malaysia;
b. Anggota Redaksi Akademika untuk Sosial Sciences & Humanities Kuala Lumpur;
c. Anggota American Psychological Association (APA);
d. Profesor Madya dalam Psikologi dan Pendidikan di University Kebangsaan Malaysia;
e. Maha Guru Luar Biasa dalam bidang Sosiologi Pedesaan pada Fakultas Ekonomi University of Kebangsaan Malaysia;
f. Sebagai ketua ikatan mahasiswa Indonesia di beberapa negara di Timur Tengah, beliau juga pernah mengajar selama satu tahun di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. PEMIKIRAN PENDIDIKAN HASAN LANGGULUNG
1. Sumber Pemikiran
Dari karya-karyanya di atas diketahui adanya isyarat betapa penulisnya adalah seorang pemikir yang produktif dan luas wawasan di bidangnya. Produktivitas dan keluasan wawasannya di bidang psikologi dan pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber yang dijadikan referensi, yaitu al-Qur`ân, al-sunnah, dan ijtihad shahabi.
a. al-Qur’an
Kaum muslimin telah sepakat dan mengakui al-Qur`ân sebagai landasan sekaligus inspirator bagi seluruh sisi kehidupan. Berkenaan dengan hal ini al-Faisal memberikan penjelasan sebagai berikut:
It is last but not least, the basis of both moral an general education .... As long as the Qur`ân remains a clear and effective means for coordination is shuld suffice to provide the diverse branche of knowledge .... If such a desideretum is achieved, all human disiplines will retain that effective unity wich should always yeeld useful and inspiring knowledge.
Menurut Fazlur Rahman, al-Qur`ân secara substansial adalah sumber dari segala ilmu dan aktivitas, baik yang besifat doktrinal maupun praktikal, di samping sunnah.
Secara literal,
al-Qur`ân berasal dari akar kata
qara‘a (bacaan, membaca), atau
al-Kitab dari kata
kataba (tulisan, menulis), yang berarti bacaan dalam pengertian seluas-luasnya, sangat berkaitan dengan pendidikan, bahkan seseorang tidak dapat berbicara tentang pendidikan Islâm tanpa mengambil al-Qur`ân sebagai sumber rujukan.
Dalam pendidikan Islam nilai-nilai dari al-Qur`ân merupakan elemen dasar. Al-Qur`ân merupakan Kalam Allâh yang diwahyukan kepada Nabi. Rahman percaya pada proposisi bahwa Nabi adalah penerima wahyu verbal Tuhan yang terakhir. Tanpa kepercayaan semacam ini tidak seorang muslim pun yang dapat menjadi muslim sejati. Sedangkan menurut Hasan Langgulung, al-Qur`ân adalah landasan ideo-religio-filosofis bagi pendidikan Islam. Ada dua alasan baginya untuk pernyataan ini. Pertama, berkenaan dengan perjanjian antara Tuhan dengan manusia melalui ayat, “…Bukankah Aku Tuhan kalian? Benar, kami menjadi saksi ….” Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa manusia menerima Tuhan sebagai Tuhan dan sebagai Penguasanya (Rabb dan Malik) sekaligus. Kedua, sebelum Nabi Adam as. jatuh dalam godaan setan Allâh telah mengajarkan nama-nama –sebagai pengetahuan kognitif-- kepadanya, yakni nama-nama Tuhan (al-asma` al-husna), maupun nama-nama segala sesuatu yang diperlukan dalam tugas kekhalifahannya.
Implikasi dari al-Qur`ân sebagai rujukan pemikiran pendidikan Islam, menurutnya, adalah pandangannya tentang keterhubungan (munasabah) antara pelbagai tema yang dibicarakan dalam al-Qur`ân, seperti –terutama—tantang Konsep keesaan Tuhan, ciptaan dan Wahyu-Nya; Cerita tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tujuan hidup, penderitaan jiwa, dan nasibnya; Peringatan bahwa manusia bertanggungjawab atas segala tindakannya, --di mana hidup, kecerdasan, kekuasaan hak milik, dan lain-lain diberikan kepadanya oleh Tuhan sebagai amanat--; Perincian ajaran-ajaran terrnasuk tugas, kewajiban, dan hak-hak yang dirumuskan oleh ahli fikih dalam shari’ah; dan Peranan Nabi Muhammad saw. dalam serangkaian wahyu-wahyu Tuhan kepada umat manusia. Secara filosofis-ideologis, hal-hal tersebut merupakan inti dasar ajaran Islam yang tidak boleh tidak harus diketahui untuk dapat memahami pendidikan Islam.
Implikasi yang lebih praktis dari al-Qur`ân sebagai rujukan bagi pemikiran pendidikan Islam Hasan Langgulung dapat dilihat dalam rumusannya tentang tujuan dan kandungan pendidikan Islam. Baginya tujuan pendidikan harus dirumuskan sebagai arah yang akan dituju manusia secara esensio-substansial. Artinya kesem-purnaan hidup sesuai dengan citra bagi penciptaan manusia. Adapun secara lokal-temporal, kekhususan tujuan pendidikan ditandai dengan karakteristik masing-masing komunitas di mana pendidikan berlangsung. Adapun mengenai kandungan pen-didikan Islam, Hasan Langgulung berpandangan bahwa karena al-Qur`ân merupakan asas teori pendidikan Islam, maka pninsip-prinsip al-Qur`ân harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelbagai mata pelajaran, bahkan memadukannya dalam membentuk kurikulum.
b. Al-Sunnah
Dalam mendudukkan sunnah sebagai rujukan sekaligus tempat konsultasi dalam konstruksi pemikirannya, Hasan Langgulung memandang segala kata-kata yang diucapkan Nabi saw, segala tingkah laku yang diperbuatnya, serta segala sikap yang diambilnya merupakan gambaran hidup terhadap pemikiran pendidikan Islam. Aisyah ra. pernah menyatakan bahwa akhlak Rasul Allâh adalah al-Qur`ân. Rasul Allâh saw adalah
guru teragung dalam sekolah Islam, lulusan sekolah
Ilahyyah di Gua Hira yang meletakkan garis-garis besar pemikiran pendidikan islam. Dalarn ungkapan yang lain, pemikiran pendidikan Islam dari sudut pandang al-Qur`ân dan sunnah tidak muncul sebagai pemikiran pendidikan yang terputus, melainkan suatu pemikiran yang hidup dan dinamis, berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat seperti yang dikehndaki oleh Islam.
Dari sini pemikiran pendidikan dalam al-Qur`ân dan sunnah mendapatkan dan menunjukkan nilai keilmiahannya.
c. Ijtihad sahabat, pemikir Muslim, juga pergumulannya dengan pemikir dan pemikiran Barat modern
Dalam pandangan Hasan Langgulung para sahabat merupakan murid-murid dari Guru Teragung. Menurutnya, Sekolah Nabi Muhammad saw. benar-benar telah melahirkan “manusia raksasa” yang dapat melintasi segala kesulitan dan tekanan, serta mencatat-kan namanya dalam lembaran sejarah sebagai orang-orang besar. Salah satunya adalah Umar ibn al-Khattab ra. yang mempunyai kemampuan tinggi dalam berijtihad. Umar tidak saja mengambil apa yang baik dari umat lain, tidak memandang semua perkara yang bersifat ta’abbudi (bernilai ‘ubudiyyah, devotional), dan tidak meng-hendaki adanya sikap jumud, tetapi mengikuti pelbagai pertimbangan kemaslahatan, dan melihat makna-makna yang merupakan poros penetapan hukum yang diridlai oleh Allâh. Pandangan Hasan Langgulung yang sangat apresiatif terhadap para sahabat tersebut menumbuhkan pemikiran yang di satu sisi terkesan bernuansa klasik, tetapi, di sisi lain, intensitas pergumulannya dengan para pemikir muslim dan pemikir Barat modern menjadikannya tidak terasing di kalangan pemikir dan pemikiran kontem-porer. Hal ini tampak dari namanya yang terpampang pada beberapa buku peng-hargaan kelas dunia, seperti
Who is Who in Malysia,
Who’s Who in The World, International Who’s Who of Intelectuals, Who’s Who in the Commonwelth, Men of Achievement, dan
Progressive Personalities in Profile.
2. Kreativitas: Modal Pendidikan yang Terlupakan
Dampak percepatan teknologi telah merombak institusi masyarakat, yang lebih lanjut memicu terjadinya perubahan sosial dalam tempo yang sangat tinggi. Untuk menghadapi kenyataan tersebut lembaga pendidikan dituntut mampu menumbuhkan kemampuan berpikir lain, bukan domestikasi dan penyesuaian (
convergen), melain-kan divergen, inovatif dan atau kreatif.
Terma “kreativitas” berasal dari
creative, berarti
having power to create. Sedang
create berarti
couse something to exist.
Hasan Langgulung memaknai
kreativitas sebagai kesanggupan mencipta atau daya cipta.
Dengan demikian inti etimologis kreativitas adalah potensi diri dalam membuat sesuatu, atau mendorong agar sesuatu menjadi ada.
a. Fungsi Kreativitas
Dengan merujuk pada beberapa pemaknaan yang berkembang di kalangan para psikolog selama ini menurut Hasan Langgulung kreativitas dapat dipahami dari tiga perspektif sebagai berikut.
1) sebagai gaya hidup (creative person)
Dengan meminjam teori Erich Fromm, dalam perspektif ini Hasan Langgulung menafsirkan kreativitas melalui dua arah, yaitu “kreativitas abstrak” dan “kreativitas konkret”. Kreavitas sebagai gaya hidup yang abstrak menyebabkan seseorang me-mandang hal-hal biasa sebagai “sesuatu yang baru”. Semua hari dalam hidupnya merupakan hari kelahiran baru, menghadapi hidup seakan-akan mengalaminya untuk pertama kali tanpa ada perasaan pengulangan atau sesuatu yang lama. Seorang yang kreatif tidak melihat sesuatu kecuali yang baru. Karena itu, reaksi dan respon serta sikapnya juga selalu baru dan onisinal.
Sedangkan kreativitas yang konkret meng-hasilkan “sesuatu yang baru” yang dapat dilihat dan didengar orang lain.
Anderson menyebut hal tersebut dengan terma
kreativitas sosial, yakni kreativitas dalam bidang-bidang hubungan sosial yang menuntut kecerdasan, pengamatan tajam dan sehat, kepekaan dan penghormatan, serta keberanian menyatakan pikiran dan kesediaan membela kepercayaan.
Seseorang dianggap bergaya hidup
kreatif apabila ia mampu memandang dan me-nyikapi segala sesuatu secara baru dan dari sudut pandang baru, yang berbeda dari yang lama dan biasa. Hal senada dinyatakan pula oleh E. Paul Torrence, bahwa
creative is being defference from compormiy and requiring nonhabitual rather than habitual behavior.
2) sebagai karya tertentu atau kreativitas sebagai daya dorong untuk menghasilkan karya tertentu
Dalam fungsinya sebagai daya dorong untk menghasilkan karya tertentu
(the creative product), kreativitas ditandai dengan hasil karya dan kebaruannya, sebagai ditegaskan oleh Elshout, bahwa
the creative product secara definitif ditandai dengan kebaruan dan kepentingan dari apa yang diciptakan.
M. Mead senada dengan pendapat ini memahami kreativitas sebagai “proses yang dilakukan seseorang yang mendorongnya mencipta sesuatu yang baru baginya.”
Kreativitas dari sisi ini me-rupakan aktivitas yang berujung pada adanya hasil berupa karya-karya tertentu.
3) sebagai proses intelektual
Dalam sisi ini ada kesan baru antara proses kreativitas dan keterampilan problem solving. Seperti dinyatakan I Taylor bahwa “ada semacam kesamaan antara kreativitas dan gaya penyelesaian masalah”. Bahkan MacKinnon secara tegas me-nyatakan perlunya konsentrasi pemecahan masalah dalam setiap proses intelektual, sehingga keterampilan dalam memecahkan masalah dapat dipandang sebagai bagian dari kreativitas. Dalam konteks ini Hasan Langgulung memaknai kreativitas sebagai “proses intelektual” dengan bentuk pemikiran di mana seseorang berpikir keluar dari apa yang dibiasakan oleh kelompok dalam pelbagai bidang.
b. Posisi Kreativitas: Pengaruh Otak dan Emosi
Dalam teori psikologi didapati sebuah adigium bahwa perkembangan dan prestasi seseorang sangan bergantung kepada dua potensi utama dalam diri seseorang, yaitu otak dan emosi.
1) Peran Otak dan Emosi
Klasifikasi kreativitas tersebut sekaligus mengindikasikan besarnya potensi dan peluang untuk menjadi kreatif, mencakup keseluruhan dimensi kehidupan itu sendiri. Semboyan "
no limit to study" yang telah beredar sejak era ‘60-an itu kini dapat dipandang berdimensi ganda.
Pertama, percepatan perubahan sosial akan selalu men-jadikan pengetahuan orang tertinggal, sehingga seseorang dituntut untuk selalu dan terus belajar.
Kedua, potensi kodrati manusia, khususnya otak. Para ahli menyebutkan bahwa otak umumnya hanya berfungsi sekitar 5-25 %, sehingga upaya optimalisi ke-mampuan menuntut --tetapi juga memberi peluang-- untuk senantiasa belajar.
Prosentase peran otak (IQ) bagi keberhasilan seseorang sering dibandingkan dengan peran emosi (kecerdasan emosi/ EQ). Jarudin Sianipar dari pembacaannya atas pel-bagai hasil penelitian menyatakan, bahwa “IQ hanya berpengaruh 20 persen terhadap kesuksesan, sedang 80 persennya adalah faktor lain, termasuk
Intelligence Emotional (IE)”.
Daniel Golleman --dalam
Wrkiing with Emotional Intellzgence-- memaparkan hasil penelitiannya atas “superstar” manajemen lebih dari 150 perusahaan raksasa, di mana ia menemukan, bahwa peran IQ dalam mendorong pelbagai kesuksesan yang demikian tinggi adalah
no more than 25 percent, dan peran emosi tampak sangat determinan.
1) Letak kreativitas: dalam otak, emosi, atau dimensi potensialitas manusia?
Menurut Hasan Langgulung, kreativitas merupakan “limpahan” dari daya kreasi Tuhan, tidak lepas dari asal Ilahi (divine origine). Dalam kaitan ini Hasan menyebut-kan empat sifat Tuhan, yaitu al-Kha>liq, al-Khalla>q, al-Badi>’’ dan al-Mushawwir. Dari beberapa ayat tentang “penciptaan” terlihat bahwa penciptaan itu belangsung dalam tiga tahapan. Pertama, penciptaan pada masa lalu, yakni penciptaan semesta (wujud) dari tiada (‘adam); kedua, penciptaan di akhirat, yaitu hari kebangkitan; ketiga, penciptaan yang merupakan kesinambungan dari pengembangan penciptaan yang pertama, berupa “pengaruh” Allâh dalam alam dengan gejala yang berke-lanjutan. Penciptaan bentuk ketiga ini --dalam pengertian perubahan dan perkem-bangan-- berkaitan dengan kreativitas manusia, karena manusia mencipta bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada. Hal ini menyangkut “perbuatan” Tuhan dan pengaruhnya terhadap “perbuatan” manusia. Tela’ah lebih jauh tentang hal ini di luar jangkauan kajian ini, namun dalam sudut pandang psikologi, kreativitas masih bisa dilihat lebih lanjut dari sisi potensialitas manusia itu sendiri.
3) Kecerdasan: potensi kreativitas
Secara umum dalam kajian tentang manusia, khususnya menyangkut potensi kecerdasannya, dikenal tiga model kecerdasan, yaitu Kecerdasan Rasional (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ), dan Kecerdasan Spiritual (SO). Kecerdasan rasional adalah kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan, kemampuan mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk berpikir secara abstrak dalam pemecahan masalah yang dihadapi maupun yang akan datang, serta belajar dari pengalaman. Dengan kata lain, kecerdasan rasional adalah kecerdasan untuk memahami dan bertindak secara intelektual. Kecerdasan emosional merupakan kecakapan mengelola dan menata diri, kapasitas untuk berempati terhadap emosi dan perilaku orang lain, serta bereaksi secara relevan. Unsur-unsurnya adalah kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi dan empati itu sendiri. Adapun kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menye-imbangkan makna dengan nilai, dan menempatkan kehidupan dalam konteks yang lebih luas. SQ menjadikan pemiliknya benan-benar terintegrasi secara intelektual, emosional, dan spiritual.
c. Potensi yang memunculkan kreativitas
Dari limpahan kerja otak-rasional, dari emosi, atau dari dimensi spiritual? Menurut Guilford, untuk mendeteksi kemampuan kreatif seseorang dapat dilihat dari aspek berpikir (intelek) dan aspek motivasi (emosi). Dari aspek berpikir, kreatifitas ditunjukkan oleh sifat-sifat kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility), dan keaslian (originality) dalam pemikiran, sedangkan dari aspek motivasi kreativitas ditunjukkan oleh sifat-sifat karakter, antara lain seperti sikap percaya diri, tidak konvensional, dan apresiasi keindahan. Faktor lain yang berperan dalam kreativitas, khususnya dalam berpikir, adalah flexibility, originaliy, elaboration (kemampuan mengoperasional-kan), dan minat dasar tertentu dalam berpikir, yaitu toleran terhadap kejumbuhan, menyukai berpikir divergen, menyukai berpikir reflektif, dan menyukai ekspresi estetik.
Ada dua faktor utama dalam kreativitas dalam berpikir, yakni berpikir divergen dan berpikir inovatif. Lebih lanjut, berpikir divergen mempunyai dua aspek yakni fluency dan flexibility. Fluency atau fluency of thinking --atau kadang-kadang disebut sebagai idea fluency (kelancaran ide-ide)-- adalah kemampuan menciptakan ide sebagai alternatif pemecahan masalah. Di sini tampak baurnya kreativitas dengan keterampilan problem solving. Orang yang kreatif dalam pandang-an ini adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengajukan ide-ide atau alternatif untuk pemecah-an masalah. Orang yang kreatif mampu melihat masalah dari pelbagai alternatif pemecahannya. Adapun Flexibility --atau kadang-kadang disebut sebagai idea flexibility (kelenturan pemikiran)-- adalah kemampuan meninggalkan suatu kerangka pikir untuk menuju ke kerangka pikir yang lain. Orang yang kreatif tidak terikat pada cara pikir ataupun cara pemecahan lama dan biasa, tetapi ia selalu berupaya menemu-kan alternatif baru untuk suatu pemecahan masalah yang lebih efektif.
Dari analisis tersebut, terlihat bahwa kreativitas dapat muncul dari otak-rasional maupun emosi. Kreativitas yang muncul dari dimensi emosional sesuai dengan pan-dangan tentang otak kanan yang berkarakter logis, matematis, sekuensial atau akademis; sedangkan otak kiri yang cenderung emosional-artistik-ritmis-inovatif-imajinatif, juga disebut sebagai aktivitas kreatif, menjadi sangat terkait dengan asal-muasal munculnya kreativitas. Di sisi lain, terdapat pandangan bahwa IQ dan SQ secara terpisah maupun sama-sama, tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas kesadaran manusia, juga kekayaan jiwa dan imajinasinya. Mereka (yang hanya menggunakan IQ dan EQ) bekerja dalam batasan, memainkan “permainan terbatas”. SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi. SQ memungkinkan kita untuk bermain dengan batasan, memainkan “permainan tak terbatas”.
d. Klasif`ikasi Kreativitas
Klasifikasi kreativitas, dengan demikian, dapat digambarkan bahwa pengem-bangan kemampuan kreatif di bidang seni dapat saja diekstensikan ke samping (lateral horizontal) ke bidang ilmu, atau dapat pula sebaliknya; dan dapat pula masing-masing secara independen. Berbeda dengan kreasi yang menyangkut nilai individual dan nilai hidup sosial, sifatnya lateral sekuensial, merupakan keharusan untuk menguji kreasi yang terkait ke nilai individual dengan nilai sosial; dan juga sebaliknya. Kreativitas atas pertimbangan nilai individual harus diuji fungsi sosial-nya; demikian pula sebaliknya. Relasi dan pengujian demikian perlu pula dilakukan untuk kreativitas atas pertimbangan nilai biofisik terhadap nilai rasional, dan sebalik-nya; juga kreativitas atas pertimbangan estetis terhadap nilai biofisik, dan sebalik-nya. Yang terakhir menyangkut kreativitas dalam kaitannya dengan dimensi SQ yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan nilai etis-religius.
Dari gambaran tersebut, menurut Hasan Langgulung, kreativitas dapat dikelom-pokkan menjadi tiga yang berpasangan dan tampak dapat saling berkomplementasi, baik dalam saling rnengembangkan maupun saling mengkritik atau menguji, yakni antara beberapa fungsi kreativitas:
1) Antara estetik/ seni-ilmu;
2) antara individual-sosial; dan
3) antara biofisik-rasional.
Lebih lanjut, tentang kreativitas dalam pertimbangan nilai etis-religius atau kreativitas dalam dimensi SQ serta hubungannya dengan nilai-nilai yang lain dapat dipilih dan dipilah menjadi yang insani (ciptaan sejarah manusia) dan yang Ilahi (wahyu Tuhan lewat para Rasul). Nilai insani dapat dikembangkan, dimodifikasi atau diganti; sedangkan pada nilai Ilahi pengembangan, modifikasi atau penggantian-nya terbatas pada tafsirnya atas asumsi kemampuan manusia terbatas, karena wahyu Tuhan me-miliki kebenaran hakiki dan merupakan kebijaksanaan yang paling dalam. Dalam hal ini kreativitas nilai etis-insani hendaknya mampu menyesuaikan dengan nilai manusiawi lainnya; dan kreaflvitas semua nilai hendaknya koheren dengan tafsir kita tentang nilai etis-Ilahi.
Di sini tampak pembedaan kreativitas antara yang insani yang terbatas dan yang Ilahi yang tanpa batas. Namun, kreativitas
Ilahi tersebut dapat dipahami melalui kreativitas insani dalam bentuk penafsiran atas kreasi Ilahi. Menurut Langgulung, kreativitas merupakan salah satu sifat Tuhan, yakni
al-Kha>liq, yang dapat dikembang-kan pada diri manusia, --atau yang dalam pandangan para filsuf Islam dianggap-- sebagai ibadah dalam pengertian yang luas.
Kreativitas semacam inilah yang di-butuhkan dalam dunia pendidikan.
e. Karakter Kreativitas dan Strategi Pengembangannya
Merujuk pada Rogers, Hasan Langgulung membicarakan tiga ciri pokok suatu kerja kreatif, yaitu: 1) keterbukaan terhadap pengalaman; yakni kesediaan menerima rangsangan yang dihadapi dalam pengalaman bebas tanpa pelbagai bela diri, dan me-nanggapi rangsangan itu sebagaimana sebenarnya, tanpa wujud kerangka terlebih dahulu; 2) penilaian tentang kreativitas harus bersifat internal, benar-benar merupa-kan pernyataan pikiran dan perasaan yang bersangkutan; dan 3) kesanggupan ber-interaksi secara bebas dengan konsep-konsep dan unsur-unsur; yakni dengan serpihan-serpihan pikiran dan gagasan baru sehingga dapat menemukan konsep baru.
Jadi, manusia-manusia kreatif (
anak berbakat), dalam pelbagai bidang yang digelutinya semuanya mempunyai ciri yang membedakannya dari orang-orang umum. Orang kreatif adalah orang memiliki kadar kelenturan yang tinggi yang rnen-jadikannya bebas berdikari, dan dalam waktu yang sama ia juga berinteraksi dan bergaul dengan manusia. Orang kreatif memencilkan diri ketika sedang bekerja dan berkarya, tetapi bersifat terbuka dan gembira ketika ia membuka dirinya kepada manusia termasuk pikiran-pikiran yang sedang bergolak di kalangan mereka.
Kebebasan dan kemauan adalah dua hal yang tidak terpisah. Tidak ada jalan untuk menuju pada kemauan tanpa kebebasan. Merujuk pada Kant, Hasan menyata-kan kebebasan kemauan adalah dasar moral dan tempat bertanggungjawab. Dalam pemikiran Islam masalah kebebasan mendapat tempat tersendiri. Kebebasan kemauan dipandang sebagai masalah intelektual yang pertama-tama menarik perhatian kaum muslimin, sehingga banyak menyedot perhatian, energi dan waktu kaum muslimin. Artinya, kebebasan merupakan prasyarat dari munculnya suatu kreativitas.
3. Pengembangan kreativitas dalam Pendidikan
Menurut Langguung, manusia mempunyai sifat kreatif. Artinya, kognisi atau pengenalan, dan selanjutnya pengetahuan tentang diri dan lingkungannya tidak di-terima secara pasif, tetapi selalu memberi kreasinya, dan muncul efek untuk mengubah-kembangkan, muncul kreasi psiko-motoriknya agar efektif, indah, menye-hatkan, dan memberi peluang ekspresinya. Muncul pula kreasi performansinya dengan beberapa rekayasa, karena keterbatasan fisiknya. Kognisi, afeksi, dan psiko-motorik manusia selalu ingin mengkreasi sesuatu yang lebih baru. Dengan demikian wilayah pengembangan kreativitas menjadi sangat luas, dan pengembangan krea-tivitas anak pada dasarnya sejalan dengan pengembangan kepribadian anak yang sehat, percaya diri dan mandiri, yang selanjutnya tumbuh menjadi orang yang kreatif dan produktif.
Pendidikan yang hanya menekankan pada salah satu aspek potensi anak, misalnya aspek kecerdasan (kognisi, intelektual) saja, tidak bisa diharapkan untuk mengembangkan kreativitas, baik di sekolah, di rumah maupun di mana pun. Begitu pula model pengajaran yang hanya bersifat informatif atau pemberian pengetahuan (transfer of knowledge), pemberian fakta-fakta terbatas pada hal yang dipilih oeh guru atau orangtua dengan harapan agar “dikuasai” anak. Semuanya tidak akan rnengembangkan kreativitas, bahkan lebih cenderung menumpulkannya --kalau bukan mematikan kreativitas--. Belajar yang demikian bagi anak menjadi bersifat menghafal (verbal) dan menyimpan, untuk kemudian diingat dan dinyatakan kembali sesuai dengan apa yang disampaikan oleh “sang guru”. Pengajaran semacam ini akan menghambat kemampuan kreativitas anak, dan tidak akan mampu rnengembangkan kecerdasan tingkat tinggi, seperti kemampuan menganalisis atau mensintesis per-masalahan yang dihadapi. Model rutinitas pembelajaran pada dasarnya menjadikan anak “menderita kebosanan”, tidak menimbulkan kegembiraan dan kegairahan, dan karenanya. sangat tidak membantu dalam pengembangan kreativitas. Dalam proses yang demikian tidak ada kreativitas, tidak ada keseriusan, dan tidak ada rasa ingin tahu (h{irs{), sebaliknya yang ada hanya penindasan kemampuan berpikir dan mencipta.
Menurut Hasan, pendidikan yang bernuansa kreatif adalah pendidikan yang dekat dengan kehidupan nyata, yakni pendlidikan yang terbuka. Sebab, keterbukaan merupakan suatu prasyarat sekaligus sebagai salah satu karakteristik kreativitas itu sendiri. Terbuka adalah siap menerima pengalaman baru, dan selalu mencari pe-muasan atas keingintahuan (curiosity, hirsh = حرص , inquiry) terhadap sesuatu. Pendidikan yang terbuka dapat dipahami bahwa pendidik, baik guru/ orangtua/ pengelola, harus terbuka terhadap realitas anak yang memerlukan kemerdekaan, kebebasan, dan kegembiraan dalam pertumbuhan serta perkem-bangannya. Begitu pula sebaliknya, siswa harus diberi kesempatan untuk terbuka dalam arti bebas mengemukakan pikiran, pendapat dan keluhannya dalam rangka melatih serta mene-mukan jati dirinya. Guru dan siswa harus terbuka terhadap realitas sekitar yang dapat dimanfaatkan sesuai kepentingan pendidikan, atau perlu ditolak jika menghambat pencapaian tujuan pendidikan.
Dengan model dan sistem pendidikan terbuka, menurut Hasan, akan didapatkan beberapa hal. Pertama, bahwa secara alamiah sangat banyak bahan-bahan yang tersedia di lingkungan yang dapat diprogramkan untuk merangsang pengembangan kreativitas anak, berupa benda-benda maupun tumbuh-tumbuhan dan sebagainya; Kedua, secara teknologis dewasa ini banyak barang-barang mainan yang tersedia yang memang dirancang untuk pendidikan (educational toy), dari yang mudah sampai yang sulit, dan educational toy dengan materi bahasa sampai matematika, bahkan akhir-akhir ini muncul game menggunakan perangkat komputer dengan fasilitas internetnya; Ketiga, karena kemampuan kreatif mencakup hampir seluruh dimensi kepribadian termasuk perasaan atau emosi, bahkan spiritualitas di mana emosi juga berperan besar dalam mendorong kesuksesan orang, maka keterampilan mengelola emosi juga menjadi penting. Pengajaran atau pelatihan kecerdasan emosional dapat diprogramkan untuk mendukung pengembangan kreativitas.
Untuk mendukung tercapainya model pendidikan terbuka (opened education), kegiatan anak harus dibentuk sedemikian rupa hingga dapat menumbuhkan ke-mampuan berpikir bebas dan mandiri; diciptakan iklim dan situasi yang segar dan menyenangkan bagi anak agar mereka memiliki kemerdekan dan keberanian me-nyampaikan ide-ide, pendapat-pendapat mengenai apa yang dipahami dari proses pengajaran atau pendidikan, dan suasana yang mana siswa tanpa ragu dapat me-nyampaikan apa yang dirasakannya perlu dan menarik. Pendidikan terbuka dan demokratis akan mendorong munculnya proses pembelajaran yang berkembang ke arah yang lebih emansipatoris dengan nuansa tertentu, yakni, nuansa di mana otonomi berpikir peserta didik dihargai, dan potensinya digali sehingga memungkinkan bagi perkembangan kreativitas mereka. Dengan pengembangan potensi diharapkan ter-bangun sikap mandiri yang tetap menjunjung tinggi nilai kooperatif. Sikap kreatif dan mandiri itu sendiri tetap harus dilandasi dengan kegemaran dan kegembiraan serta kebiasaan yang konstruktif.
D. PENUTUP
Kreativitas dalam hubungannya dengan nilai etis-religius terpilah menjadi etis-religius yang insani dan etis-religius yang Ilahi. Pada kedalaman kedirian manusia, termuat nilai spiritual yang di dalamnya terletak inti keimanan kepada Yang Maha Pencipta (the Creator, al-Badi’). Iman bagi pemiliknya yang sungguh-sungguh akan menjadi sumber pemenuhan segala kebutuhan spiritual-psikologisnya, bahkan ke-butuhan ke-”aman”-annya ketika berkiprah dalam kehidupan. Komitmen spiritualitas yang intrinsik dengan kedirian seseorang akan dapat berfungsi sebagai esensi kehi-dupanya, akan menjadi sumber energi lahir-batin, menjadi sumber imajinasi-inspirasi dan pada ujungnya adalah kreasi secara nyata (Q.S. al-‘Ashr: 3). Sabda Nabi saw. seperti “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai kuburan”, “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”, “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”, dan lain-lain dapat di-pandang dan disikapi sebagai dorongan bagi munculnya sikap kreatif. Sikap ini me-nuntut keterbukaan dalam kehidupan untuk memunculkan kreativitas.
Dalam pendidikan Islam ada keselarasan antara penemuan mutakhir di bidang pendidikan dan pembelajaran dengan apa yang diintroduksi dalam al-Qur`ân. Konsep belajar dalam surat al-'Alaq ayat 1-5 dapat dipandang sebagai model belajar “meng-hadapi masalah”, di mana lembaga membaca diiringi dengan arah atau objek yang problematis penuh dengan muatan-muatan yang menuntut pemecahan kreatif. Kreati-vitas merupakan “limpahan” dari daya kreasi Allâh (fit{rah Allâh). Setiap anak manusia mempunyai potensi intelektual, emosional, dan spiritual yang dapat men-dorong untuk berkreasi. Potensi tersebut hendaknya dikembangkan, baik melalui pendidikan fofrmal maupun nonformaal, agar terwujud kreativitas. Untuk memuncul-kan potensi kreatif pada anak dibutuhkan suasana pembelajaran yang terbuka dan kondusif, tanpa ada tekanan dan paksaan (ghalidh al-qalb), dengan proses yang menyenangkan (basyir-yasir), dan pendekatan humanistik (rahmah min Allâh). Kebebasan tanpa tekanan dari pihak mana pun merupakan prasyarat bagi tumbuh-kembangnya kreativitas anak dalam perkembangannya sebagai wujud perkembangan IQ, EQ, dan SQ melalui proses belajar. Pengembangan kreativitas dan kepribadian anak harus berjalan seirama agar tumbuh mejadi orang yang kreatif, produktif, dan berakhlaq karimah. Wa Allâh a’lam bi al-shawab.mms2f
----------------------------------
DAFTAR BACAAN
‘Abd al-Azi>z, S{a>lih dan ‘Abdul ‘Azi>z ‘Abdul Maji>d}. at-Tarbiyah wa T}uruq at-Tadris (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971), cet. X.
‘Abu>d, ‘Abd al-Ghani. al-Isla>m wa Tah}addi> al-‘As}r: at-Tarbiyah al-Mustamirah fi al-Isla>m – Ta’li>m al-Jama>hi>r, Majallah Mutakhas}s}as}ah, Tusdaru ‘an al-Jiha>z al-‘Arabi, al-Qa>hira, as-Sanah at-Tha>lithah, al-‘Adad: 5, Yana>nir (Ka>nu>n at-Tha>ni>), 1976.
Al-Abrashiy, Muh}ammad ’At}iyah. Ru>h} at-Tarbiyah wa at-Ta’li>m. Mesir: ’I>sa> Ba>b al-H{a>labi>, 1969.
Ah{mad, Lut}fi> Baraka>t. Fi> al-Fikr at-Tarbawi>y al-Isla>mi>. Riyad: Da>r al-Mari>h{, 1982.
‘Ali, Sa’i>d Isma>’il. al-Qur`ân al-Kari>m Ru’yah Tarbawiyyah. Kairo: Da>r al-Fikr al-’Arabi>, 2000.
‘Aliyya>n, Fa>t}imah bint Shaukat Muh}ammad. Muqawwama>t at-Tarbiyah al-Isla>miyyah. Riyad: t.p., 1414 H./ 1994.
Assegaf, Abdurrahman dan Suyadi, Pendidikan Madzhab Kritis. Yogyakarta: Gama Media, 2008.
Asy’ari, K.H. Hasyim. A>da>b al-‘A>lim wa al-Muta’allim. Jombang: aف-Turath al-Islami, 1415 H./2007.
Al-Attas, Sayyid Muhammad Naquib. the Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1991.
Al-Attas, Syed Muhammad an-Naquib (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul ‘Aziz University, 1979.
Bates, Dennis and Gloria Durka (ed.). Education, Religion and Society: Essays in Honour of John M. Hull. Taylor & Francis, Inc., 2005.
Brubacher, John S. Modern Philosophies of Education. New Delhi: Mc.Graw-Hill Publishing Company LTD., 1981, Ed. IV.
Ad-Dakhi>l, Muh}ammad ‘Abdur Rah}ma>n Fahd. Madkhal ila> Us}u>l at-Tarbiyah al-Isla>miyyah. Riya>d}: Da>r al-Khari>ji>, 2003, cet. II.
Frankena, William K. Three Historical Philosophies of Education. Atlanta: Scott, Foresman and Company, 1965.
Freire, Paulo. Pendidikan sebagai Proses, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, cet. III.
Gabbard, D. and Saltman, Ken (eds). Education as Enforcement: The Militarization and Corporatization of Schooling, 2003.
Al-Gha>midi>, ’Abdur Rah}ma>n ibn ’Abdil Kha>liq ibn H{ajar. Madkhal ila> at-Tarbiyah al-Isla>miyyah. Riya>d}: Da>r al-Khari>ji>, 1418 H.
al-Gharra>b, Muhammad Mahmud. al-Insa>n al-Ka>mil min Kala>m as-Shaikh al-Akbar Muh}yiddi>n ibn al-‘Arabi. Damaskus: Dar al-Fikr, 1990.
Henhy, Nelson B. (ed.). Philosophies of Education. Chicago: The University of Chicago Press, 1962.
Al-Jumbu>lati>, ’Ali, dan ’Abdul Futu>h{. Perbandingan Pendidikan Islam. terj. M. Arifin. Jakarta: Rineka Cipta, 2002, cet. II.
Jusuf, Amir Feisal. Reorientasi Pendidikan Islâm. Jakarta: Gema Insani, 1995.
Al-Kailani, Majid. Ahdaf at-Tarbiyah fi Tarbiyah al-Fard wa Ikhraj al-Ummah. al-Ma’had al-‘Alami lil-Fikr al-Islami, 1417 H.
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.
Maksun, Ali, et.al. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern. Yogyakarta: IRCiSoD, 2004.
Prakosa, Heru. Prinsip Pedagogi Transmormatif dan Kesetiaan Kreatif. BASIS. nomor 0-08, tahun ke-56, Juli-Agustus 2007.
Rohmad, Ali. Kapita Selekta Pendidikan. Yogyakarta: Teras, 2009, cet. II.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, cet. XIII.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, Cet. VII.
Tibawi, A.L. Islamic Education. London: Luzac & Co., 1972.
Ulwa>n, ‘Abdulla>h Na>sih. Tarbiyah al-Awla>d fi> al-Isla>m. Jeddah: Da>r al-Sala>m, 1992, cet. XXI.
Zamroni. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000.
Az-Zarnu>ji. Ta’li>m al-Muta’allim Turuq at-Ta’allum. Semarang: Toha Putera, t.th.
-->>
Bacalah dan disitasi!