Selasa, 03 September 2019

Madrasah sebagai Agent of Morality

PERAN MADRASAH
Sebagai Agent of Morality
Oleh  M. Syakur Sf.


MADRASAH: Pengertian dan Sejarah
Secara harfiah madrasah dari kata darasa yang berarti belajar, dan kata madrasah menunjuk kata tempat (isimmakan) sehingga artinya adalah tempat belajar, tempat proses belajar dan mengajar secara formal. Dari sisi ini madrasah dapat diartikan sebagai sekolah. Karel Steenbrink dalam bukunya Madrasah Sekolah dan Pesantren memandang beda antara madrasah dan sekolah.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam sejak lama yang berkembang di Indonesia. Meskipun demikian kata madrasah bisa jadi menunjukkan ketidakasliannya sebagai lembaga pendidikan di Indonesia jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya, seperti Dayah (di Aceh), Surau (di Minangkabau), dan Pesantren (di Jawa). Oleh karena itu ada yang beranggapan bahwa madrasah merupakan wujud upaya pengembangan lembaga pendidikan yang dilakukan oleh para cendikiawan Muslim di Indonesia. Atau secara ekstrem dikatakan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lebih moderen sebagai wujud pengembangan pesantren.

PERAN MADRASAH: Agent of  Moral Change
Pada masa awal madrasah mempunyai andil sekaligus menjadi basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah.[2]
Secara garis besar ada tiga model lembaga pendidikan Islam di Indonesia:
1.      Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia;
2.      Madrasah baik dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah; dan
3.      Sekolah umum yang bercirikhas Islam.
Sejarah historis pesantren dan madrasah merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang sampai hari ini masih eksis.
Berbicara tentang peranan sebuah lembaga erat sekali dengan fungsi-fungsi yang ada. Menurut Azyumardi Azra, seorang pemikir pendidikan Islam memandang bahwa fungsi pokok pendidikan (madrasah) dalam masyarakat modern terdiri dari tiga bagian:
1. Sosialisasi;
Maksudnya adalah pendidikan merupakan wahana bagi integrasi anak ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan;
2. Penyekolahan (schooling);
Fungsi ini berarti bahwa pendidikan menyiapkan mereka untuk menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu, dan karena itu, penyekolahan harus membekali peserta didik kualifikasi-kulaifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat;
3. Pendidikan (education);
Maksudnya adalah untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program modernisasi.[3]
Ketiga fungsi pendidikan tersebut pada gilirannya akan melahirkan manusia terdidik, bermoral dan mempunyai komitmen untuk melakukan transformasi sosial, sebagai pencerminan manusia yang mempunyai tingkat pengetahuan di atas rata-rata warga masyarakat pada umumnya. Masyarakat modern meniscayakan kehidupan yang rasional, maju dan berdaya, baik dalam pola sikap, pola pikir dan prilaku sebagai manusia yang luhur. Dalam istilah Islam manusia dalam pengertian ini disebut dengan insan kamil.
Karena pendidikan merupakan aktifitas mental, pikiran yang menghendaki perubahan demi perubahan ke arah kemajuan. Kebutuhan akan semangat pembaharuan (perubahan) harus dimilki oleh pengelola, pemikir dan praktisi pendidikan yang Islami. Dengan kata lain jihad atau ijtihad di bidang pendidikan adalah sutau kebutuhan yang terus menerus. Manusia yang kreatif, dinamis dan progressif (mujtahidmujaddidnasyith) sangat dibutuhkan bagi tantangan pendidikan di masa depan.
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidikan (madrasah) mempunyai tiga karakteristik yang dapat menunjang partisipasi perubahan masyarakat (dinamika) sebagai inti dari adanya pembaharuan, yaitu:
a.         Penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allâh SWT.
b.        Pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian, atau berakhlakul karimah;
c.          Pengamalan ilmu pengatahuan atas dasar tanggungjawab kepada Tuhan, masyarakat manusia.[4]

Melihat pemikiran di atas, ikhtiar mewujudkan kualitas pendidikan Islam harus menekankan pada hal-hal berikut ini:
a. Intellectual Capacity; yaitu peningkatan kemampuan intelektual warga belajar;
b. Personal Capacity; yaitu menekankan kemampuan kepribadian warga belajar agar mempunyai kemanfatan kepada kemaslahatan umum;
c. Scintic Capacity; kemampuan ilmu pengetahuan yang berdimensi ketuhanan (teosentris) sebagai puncak kualitas warga belajar dari pencerminan keimanan dan ketaqwaan.

Proses modernisasi (pembaharuan, tajdid) sangat membutuhkan peran dan fungsi pendidikan, karena pendidikan adalah sebuah olah pikir, rasa dan karsa manusia, yang mengantarkan manusia pada kualitas-kualitas tertentu. Tanpa pendidikan yang ditata secara kontinyu, sistemik dan rasional, maka proses pembaharuan masyarakat tidak akan optimal bahkan mungkin mengalami kegagalan. Dengan kata lain untuk menjadikan orang itu bisa menjadi modern, berprilaku dan berpola pikir maju mempersyaratkan adanya pendidikan.
Modernisasi memerlukan dua syarat utama, yaitu mobilitas sosial dan differensiasi struktur sosial. Namun hanya dengan keduanya belum cukup menjamin perkembangan modernitas selanjutnya. Untuk menjamin kelangsungan modernisasi, kita harus mampu melembagakannya.[5] Dengan demikian proses keberlangsungan modernisasi akan sangat memerlukan kesadaran kolektif dan kesadaran kritis.
Maka di sinilah arti pentingnya pendidikan, termasuk sebagai agent of moral change. Sehingga yang diperlukan adalah pendidikan kritis-transformatif yang dapat mengantarkan ke arah perubahan dan pembaharuan masyarakat. 

PERAN MADRASAH: dalam pembangunan
Antara pendidikan dan pembangunan sangat terkait. Perubahan (transformasi) sosial tidak akan terwujud tanpa adanya proses dan sistem pendidikan yang berkualitas, yang akan mengantarkan manusia-manusia melakukan peran-peran pembaharuan. Juga melalui pendidikan dapat menghasilkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) yang dapat digunakan oleh manusia untuk melakukan pembaharuan masyarakat di segala bidang (menyeluruh, kâffah). 
Faktor Penunjang
Sebelum membicarakan peranan madrasah dalam pembangunan marilah kita mencermati bagaimana pembangunan bisa terwujud? Pembangunan tidak akan terwujud tanpa peranserta manusia, dan manusia tidak akan bisa melakukan pembangunan tanpa ada ilmu pengetahuan. Guna memperjelas keterkaitan antara pendidikan dengan pembaharuan (pembangunan), berikut akan disampaikan faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan pendidikan dengan pembangunan,[6] yaitu:

1.      Manusia sebagai penunjang pembangunan

Hal ini dikarenakan pemikir, perencana, pengelola dan pelaksanaan pembangunan adalah ada di tangan manusia. Manusia sebagai pemikir harus berusaha untuk menggerakan pembangunan, karena selama ini faktor manusia tidak bisa digantikan oleh faktor non-manusia. Dengan akalnya manusia tumbuh menjadi makhluk yang sadar diri, sadar tujuan dan sadar lingkungan.

2.      Pendidikan merupakan penunjang pembangunan

Secara teoritik dan konseptual pendidikan adalah penunjang pembangunan. Karena pembangunan memerlukan prasyarat manusia-manusia terdidik, trampil dan profesional (manusia yang berkualitas). Dan juga memerlukan satu profil manusia yang mempunyai visi ke depan dalam membangun masyarakatnya.

3.      Sumbangan pendidikan terhadap pembangunan

Penemuan-penemuan baru tentang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecakapan teknis bagi umat manusia dewasa ini merupakan satu upaya pendidikan baik dalam lingkungan keluarga, masyrakat maupun pemerintah, sebab makna pendidikan secara luas dapat menstimulir yang menyertai perubahan dan perkembangan umat manusia. Sedangkan usaha dalam pembangunan adalah suatu upaya untuk menjawab tantangan terhadap masalah yang timbul di masyarakat. Pembangunan dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat pada semua bidang, diperlukan konformitas dan partisipasi yang yang penuh rasa tangungjawab masyarakat. Dalam dunia pendidikan dikenal istilah Pendidikan Berbasis Masyarakat atau Manajemen Berbasis Masyarakat (MBM).

Peranannya?
Dalam proses pembangunan bangsa madrasah mempunyai peran ganda, yakni peran akademik dan peran non akademik, yaitu antara lain sebagai berikut:

a.       Sebagai media transformasi dan pengembang IPTEK

Para pembaharu Pendidikan Islam seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, al-Fasi dari Maroko, Abdul ‘Aziz al-Thalabi dari Tunisia, Abdul Hamid ibn Badis dari Aljazair dan Sayyid Ahmad Khan serta Muhammad Iqbal dari anak benua India, mengatakan bahwa Islam sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan pemikiran Barat yang terbaik. Mereka menginginkan perlunya dan menerima sintesis Islam yang selektif dengan pemikiran Barat modern. Mengutuk pemujaan dan peniruan ke masa lalu yang membabi buta, menegaskan kembali hak-hak mereka untuk menafsirkan kembali Islam (ijtihad) dari sudut pandang kondisi modern dan berusaha memberikan alasan yang berdasarkan Islam bagi pembaruan pendidikan, hukum, sosial guna membangkitkan kembali umat Islam yang mandeg dan tak berdaya upaya.[7]
Dalam konteks ini madrasah berperan menyampaikan informasi IPTEK yang senantiasa berkembang untuk mempersiapkan manusia yang berkwalitas hingga memiliki ilmu pengetahuan yang luas, cerdas dan terampil, berbekal liveskill yang matang dan mapan. (baca surat al-‘Alaq: 1-5, al-‘Ashr: 2-3, dan al-Ghasyiyah: 17-21). Ini adalah peran akademik madrasah.

b.      Sebagai media pengejawantahan moral

Sebagai makhluq Allâh yang paling berpotensi untuk menyelenggarakan pembangunan manusia tidak cukup bermodal IPTEKS dan keterampilan (lifeskill), tetapi juga harus bermoral tinggi, berakhlaq mulia, mampu menunjukkan jatidirinya, baik sebagai ‘Abdullah maupun sebagai Khalifah Allâh. Dalam hal ini madrasah punya peran untuk mendidik calon-calon pembangun dan pengelola di muka bumi yang sesuai dengan misi ajaran Islam, manusia yang ber-akhlaq karimah, agar terampil mengolah bumu beserta seluruh Sumber Daya Alam (SDA)nya dan mengelolanya, mampu menghindari kemungkinan-kemungkinan yang mengancam kerusakan karena kreativitas manusia yang tidak benar.(Baca surat al-Rum: 41)
Pada konteks ini Rasul Allâh saw.  berusaha senantiasa menegakkan supremasi hukum, membangun ummat yang dilanda dekadensi moral, memberantas segala bentuk kriminalitas yang pasti merugikan ummat dan agama, dan melakukan reformasi sosial, baik moral maupun kultural, membawa ummat dari era Jahiliyyah menuju era ‘Ilmiyyah (min al-dhulumat ila al-nur = من الظلمات إلى النور). Bukankah Rasul saw. juga telah menyatakan bahwa kehadirannya ke dunia sebagai pembawa missi moral, Innamâ bu’itstu li utammima makârim al-akhlâq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kebajikan moral).

c.       Sebagai penggerak Pembaharuan

Pembaharuan adalah salah satu implikasi dari ikhtiar masyarakat akan prntingnya perubahan. Dimulai dengan perubahan pemikiran, sikap dan gerakan yang berakhir pada tatanan kehidupan yang lebih partisipatif, berkeadilan dan progresifitas, termasuk juga di bidang pendidikan. Betatapapun diakui oleh manusia bahwa yang bisa melakukan perubahan memprasyaratkan adalah pendidikan dengan fungsinya sebagai inspirator dan motivator pembangunan.
Latar belakang munculnya pembaharuan (modernisasi) pendidikan di Indonesia berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisme Islam di Indonesia. Gagasan modernisme Islam yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20, pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari sistem pendidikan kolonial Belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi modernis Islam seperti Jami`at Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain.[8]
Kehadiran madarasah adalah merupakan wujud upaya memadukan dua sistem belajar dengan jalan memasukan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional dan memasukan kurikulum pendidikan agama ke dalam sekolah-sekolah umum. Karena pada hakikatnya ilmu tidak mengenal dikotomi. Tumbuh dan berkembangnya pendidikan Islam (madrasah) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan proses perkembangan ide-ide pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam.
Agenda mendirikan madrasah yang hampir sebanding dengan sekolah ala Barat menjadi agenda bagi organisasi dan pergerakan Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah,[9] Nahdlatul Ulama,[10] Jamiatul Khair,[11] Persatuan Islam,[12] al-Irsyad,[13] Al-Washiliyah,[14] Persatuan Tarbiyah Islamiyah,[15] dan lain-lain.
Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran juga nampak jelas pada sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata  pelajaran pada umumnya dalam pesantren. Tidak adanya perhatian kepada ilmu-ilmu kealaman atau adanya dikotomi antara ilmu agama dan umum. Di samping itu pelajarannya sangat sederhana dan sedikit, akhirnya mengakibatkan materi pelajaran yang diterima kurang mendalam dan komprehensif. Ditambah  dengan sistem pengajaran yang  sangat berorientasi pada buku pelajaran, bukannya pada pelajaran itu sendiri. Akhirnya buku-buku yang baru tidak dilahirkan, yang ada hanya komentar-komentar dari buku yang telah ada dan bahkan komentar dari komentar dalam tradisi Islam dikenal “syarh al-kitab”.[16]

d.      Sebagai penyelenggara pendidikan yang humanis dan etis

Adanya tudingan sementara pihak bahwa pesantren adalah lembaga pemicu lahirnya terorisme sehingga laik mendapatkan perlakuan diskriminatif adalah gejala tidak adanya sikap terbuka menerima kenyataan terhadap perubahan-perubahan dan kemajuan dalam masyarakat luas yang merupakan hasil dari ilmu dan kemajuan teknologi, bahkan inklusif.
Madrasah dengan model pendidikan yang dikembangkan akan mampu menunjukkan peranannya sebagai pembawa misi al-Qur`ân, yakni rahmah lil ‘alamin. Dengan berbagai metode dan pendekatan yang ada madrasah senantiasa mendidik para calon pemimpin ummat yang pandai menghargai dan menghormato orang lain, menerima dan merasakan perbedaan karena adanya kesadaran bahwa manusia diciptakan dalam banyak perbedaan. Dengan demikian madrasah akan mempersiapkan generasi yang berilmu, dan pandai memanusiakan manusia. Di sinilah madrasah memainkan peranannya sebagai agent of moral change.

Profesionalisme

Profesionalisme merupakan persoalan baru bagi terwujudnya peranan madrasah di atas. Untuk hal tersebut dibutuhkan manajemen SDM dan pengelolaan lembaga madrasah yang profesional pula. Penyiapannya tidak bisa ditangani dengan tidak secara profesional.
Kecuali itu Peningkatan pengelolaan madrasah harus dilakukan dengan baik dan profesional, lebih menekankan nilai-nilai humanisme dan etika dalam pendidikan agama, tidak hanya mengajarkan fanatisme beragama tetapi juga cerdas dan terampil menghargai dan menghormati sesama insan beragama.
Akhirnya kita berharap agar madrasah tetap eksis dengan segala peranannya dalam pembangunan, dengan mengedepankan profesionalisme yang terprogram, akunteble, dan akseptable, melakukan komunikasi, koordinasi dan kerjasama antara lembaga pendidikan agama yang belum optimal dan terlembagakan hingga dapat dinikmati masyarakat luas. Sekian dan Wa Allâh a’lam bi al-shawab ms2f


Sumber Bacaan:
Assegaf, Abd. Rachman, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media, 2003.
Azra, Azyumardi, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, Kata Pengantar untuk buku Nurcholish Madjid (Bilik-Bilik Pesantren), Jakarta: Paramadina, 1977.
Chozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang, UMM, 2001.
Dauly, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Dhofier, Zamakhsyari, Kultur Pesantren dalam Perspektif Masyarakat Modern, Makalah disampaikan pada pertemuan cendekiawan Muslim di Jakarta tanggal 26-28 Desember 1984.
Furqan, Arief, Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2003.
Rahman, Fazlur, Islam (Terj), Bandung : Pustaka, 1984.
Rusyan, A. Tabrani, Pendidikan Masa Kini dan Mendatang, Jakarta: Bina Mulia.
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta : LP3S, 1986.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidkan Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.
Szyliowics, Joseph S., Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, (Alih bahasa :Achmad Djainuri), Surabaya : Al-Ikhlas, 2001.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,  Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.


[2]Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, Kata Pengantar untuk buku Nurcholish Madjid (Bilik-Bilik Pesantren), Jakarta: Paramadina, 1977, h. xii.
[3]Azyumardi Azra. Loc. Cit.,
[4]Ibid, h. 10.
[5]Zamakhsyari Dhofier, Kultur Pesantren dalam Perspektif Masyarakat Modern, Makalah disampaikan pada pertemuan cendekiawan Muslim di Jakarta tanggal 26-28 Desember 1984.
[6]A. Tabrani Rusyan, Pendidikan Masa Kini dan Mendatang, Jakarta: Bina Mulia, h. 13-17.
[7] Ibid.
[8]Azyumardi Azra, Op.Cit., h. 37.
[9]Ciri-ciri pendidikan Muhammadiyah: 1). Cara belajar dan mengajar di Muhammadiyah dengan memakai sisitem klasikal, 2). Bahan pelajaran di Muhammadiyah diajarkan materi agama dan umum, 3). Rencana Pelajaran di Muhammadiyah diatur dengan rencana kurikulum sehingga efisiensi belajar akan lebih terjamin, 4). Pengasuh dan guru di Muhammadiyah terdiri dari guru-guru ilmu umum dan agama, 5). Relasi guru dan murid di Muhammadiyah diusahakan suasana yang lebih akrab. Lihat Chozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang, UMM, 2001,, h. 119.
[10]Usaha-uasaha Nahdlatul Ulama dalam bidang pendidikan antara lain : 1). Awalnya berkonsentrasi pada pengelolaan pendidikan pesantren 2). Mendirikan madrasah sebagai akibat dari pembaharuan pesantren. 3). Susunan madrasah NU adalah madrasah Awaliyah, Ibtidayah, Tsanawiyah, Muallimin Wustho dan Muallimin ‘Ulya, 4). Pada perkembangan selanjutnya mendirikan sekolah umum tetapi tetap diberi muatan pelajaran agama. Dibentuklah badan lembaga pendidikan Ma’arif, yang khusus menangani pendidikan.Lihat Zuhairini et. alOp.Cit., hlm. 178-186. Karel A. Steenbrink, Op.Cit., hlm.65-72, Lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,  Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995,  h. 239-245.
[11]Langkah-langkah Jamiatul Khair dalam bidang pendidikan adalah: 1). Pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, 2). Pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi,  3). Materi pelajaran tidak hanya materi agama tetapi juga umum, 4). Kurikulum dan jenjang kelas telah tersusun,  5). Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia dan Melayu, 6). Pada awalnya para siswanya adalah anak-anak keturunan Arab, namun pada perkembangannya juga diperuntukan untuk anak-anak Indopnesia, 7). Bahasa Belanda tidak diajarkan, sebagai gantinya diajarkan bahasa Inggris. Lihat Zuhairini et. alOp.Cit.,  h. 159-162.
[12] Usaha-usaha Persatuan Islam (PERSIS) di bidang pendidikan antara lain : 1) Mendirikan madrasah yang pada mulanya diperuntukan untuk anak-anak anggota PERSIS, selanjutnya dibuka untuk umum, 2). Mendirikan lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO dan sebuah sekolah Guru, 3). mendirikan pendidikan Islam dan pesantren. Lihat  Ibid., h. 186-192.
[13] Program-program al-Irsyad dalam bidang pendidikan adalah: 1). Mendirikan lembaga pendidikan yang pada mulanya untuk keturunan Arab, tetapi selanjutnya dibuka untuk umum, 2). Jenis-jenis pendidikan yang dikelolanya antara lain sekolah tingkat Dasar, sekolah Guru, bagian Takhassus (dengan pelajaran 2 th) di mana pelajar dapat mengadakan spesialisasi bidang agama, pendidikan atau bahasa. Lihat Ibid.,  h. 162-167.
[14] Usaha-usaha yang dilakukan al-Washiliyah dalam bidang pendidikan antara lain: 1). Tablig, 2). Mendirikan madrasah dan melakukan reoerganisasi kurikulum, 3). Memasukan sistem klasikal, 4). Membentuk komisi yang bertugas mengadakan inspeksi ke madrasah Jamiatul Wasliyah setiap 6 bulan sekali, 5). Mengadakan pertukaran guru dari satu madrasah ke madrasah lain. Bandingkan dengan organisasi lainnya Jamiatul Wasliyah kebih ketat dan sentralistis. Baca Karel A. Steenbrink, Op. Cit., h. 76-83.
[15] Langkah-langakah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dalam bidang pendidikan antara lain: 1). Mengambil beberapa unsur pendidikan klasikal, 2). Mendirikan sekolah Arabiyah School dan mendirikan Islam School,  3). Surau kecil dan surau besar dimana diajarkan agama pada tingkat tinggi dan rendah semuanya disebut madrasah PERTI, 4). Pada surau yang lain dimasukan juga beberapa mata pelajaran dari sekolah gubernemen. Lihat Ibid., h. 62-65.
[16] Zuhairini et.alOp. Cit., h. 111-115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar